
Sebenarnya penulis sadar bahwa selembar kertas yang berada di tangan pembaca ini tidak cukup untuk menulis tugas-tugas dan kewajiban seorang intelektual muslim. Namun penulis berharap semoga tulisan ini dapat mengingatkan kita betapa banyak dan besar tugas dan egenda yang harus kita selesaikan, kalaulah memang kita termasuk orang yang menyandang gelar intelektual muslim. Istilah senada yang sering digunakan adalah cendikiawan muslim. Kata cendikiawan dapat diartikan sebagai orang cerdik dan pandai yang memiliki sikap hidup yang terus menerus meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk mendapatkan pengetahuan atau memahami sesuatu. Sedangkan intelektual memiliki arti yang tidak jauh berbeda dengan kata cendikiawan, yaitu orang cerdas, berakal dan berpikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Perbedaan ini tidaklah menjadi masalah, karena hanya sebatas istilah, yang jelas substansi dari keduanya sama. Identitas dan Posisi Kaum Intelektual Kaum intelektual adalah kaum yang menempatkan nalar (pertimbangan akal) sebagai kemampuan pertama yang diutamakan, yang melihat tujuan akhir upaya manusia dalam memahami kebenarannya dengan penalarannya. Meskipun secara kuantitas mereka bisa dikatakan sangat sedikit, akan tetapi secara kualitas tentunya mereka di atas rata-rata orang awam karena mereka memiliki ilmu pengetahuan dan wawasan. Diakui atau tidak, sebenarnya kaum intelektual merupakan bagian dari masyarakat dan bukan kelas tersendiri, tetapi memiliki keterkaitan sosial di mana kegiatan yang diberi kategori intelektual mendapat tempat dalam hubungan pada umumnya (Gramsci, 1987). Kaum intelektual tidak ditempatkan sebagai kelas tersendiri, tetapi berlaku bagi siapa saja yang melakukan perjuangan menegakkan kebenaran guna mewujudkan keadilan, kebebasan, dan kemajuan masyarakatnya. Seorang nabipun tak lain adalah individu yang merupakan bagian dari kaumnya (baca; masyarakat) yang berupaya dan berperan dalam membuka keran-keran ruang kebebasan dan mengupayakan kemajuan. Mereka merupakan individu yang peduli untuk berjuang untuk memperbaiki aturan lama dan mempromosikan aturan dan tatanan hidup baru yang lebih relevan. Meski minoritas, mereka berhasil membuka mata dunia, menyebarkan ide-ide baru untuk melakukan perubahan. Jadi kaum intelektual bukanlah kaum elit yang harus memisahkan diri dari masyarakat di mana ia lahir atau tinggal, akan tetapi ia harus berpijak dan bergaul dengan masyarakat tersebut serta membawa mereka menuju kemerdekaan. Merdeka dari belenggu kebodohan, pasungan ketertinggalan dan kemerdekaan dari kemiskinan. Seorang intelektual harus menggunakan ilmunya sebagai kritik sosial. Maka loyalitas tertinggi intelektual ialah pada masa depan bangsa, tidak pada elite (kekuasaan, bisnis) dan massa (budaya, voting behavior).” Tugas dan Kewajiban Intelektual Muslim Seorang intelektual Barat pemerhati masalah Indonesia pernah mendengar komentar koleganya yang berasal dari salah satu pusat kebudayaan Islam, demikian: “ketika saya berada di Syiria atau Irak saya merasa melihat Islam masa lalu, tetapi ketika saya mengunjungi Indonesia saya merasa sungguh (bahwa) di sinilah masa depan Islam”. Nampaknya ungkapan ini menarik untuk diikuti dan sangat positif sebagai motivasi. Benarkah Indonesia mampu menjadi masa depan kebudayaan Islam dan mengulang zaman keemasannya? Untuk mewujudkan hal di atas tentunya harus dibangun masyarakat yang kaya akan pemikiran, ilmu pengetahuan dan kaya hati serta mempunyai wawasan yang luas. Untuk membangun sebuah masyarakat atau lingkup yang lebih luas(baca :negara), harus dimulai dari lingkup yang lebih kecil, dari keluarga, masyarakat sekitar dan pada gilirannya berlanjut pada masyarakat yang lebih luas. Semuanya akan berjalan lancar jika dimulai dari membangun diri sendiri. Jika ingin membangun bangsa, bangunlah masyarakatnya; Jika ingin membangun masyarakat, bangunlah keluarganya; Jika ingin membangun manusia, bangunlah hatinya. (Erich Fromm) Agenda di atas tak lain dan tak bukan adalah kewajiban intelektual muslim. Kaum intelektual sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan umum yang berkembang dalam masyarakat merupakan suatu golongan yang mempunyai peranan penting dalam proses transformasi sosial, ia harus mempunyai keberpihakan kepada masyarakat sekitarnya, terutama kaum dhu’afa secara sosial politik dan ekonomi sekaligus memperjuangkan aspirasi mereka. Seorang intelektual muslim harus mempunyai integritas, pengabdian serta komitmen yang jelas dalam membangun peradaban umat dan bangsanya. Apabila seorang intelektual tidak mempunyai concern terhadap misi dan komitmen ini, maka ia bukanlah seorang intelektual, melainkan hanyalah seorang peneliti, akademisi atau politisi. Kaum intelektual dalam sebuah masyarakat memilki tugas khusus yakni “menafsirkan dunia bagi masyarakat tersebut”. Intelektual memang bukan sebuah kelas, melainkan sebuah golongan sosial yang terapung (socially unattached) karena ilmu dan wawasan yang dimilikinya. Jadi ia harus menyatukan phenomena dengan noumena, yang sakral dan skuler, dan menjembatani bahasa sehari-hari dengan bahasa pengetahuan serta mentransformasikan ilmu pengetahuan yang mereka miliki kepada masyarakat di mana ia tinggal sebagai aplikasi apa yang ada dalam pikirannya demi kemajuan masyarakat. Dalam membangun sebuah masyarakat, seorang intelektual harus turun langsung bergaul dengan masyarakat yang dibangun tersebut. Seorang cendikiawan yang tak terlibat dalam masalah-masalah sosial di masyarakat, namun hanya menyuarakan kebenaran dari menara gading adalah sosok yang melakukan pengkhianatan intelektual (La Trahison de la trahison des clercs). Seorang intelektual harus melakukan kerja protes terhadap segala macam bentuk penyimpangan yang ada dalam masyarakat. Intelektual sejati adalah mereka yang berani melakukan kerja protes atas kecenderungan destruktif di dalam masyarakat, tidak sekadar berdiam diri di atas menara gading atau memosisikan diri sebagai resi. Tugas kaum intelektual tidak semata menganyam kata, menelurkan gagasan, tetapi juga harus berupaya mengubah realitas yang timpang, mengubah kata- kata menjadi kenyataan. Menurut Ali Shariati peranan kaum intelektual di dalam masyarakat terletak pada usahanya, dalam kehidupan yang selalu dinamis, jika tidak demikian, pasti ia akan menyerah pada determinisme historis yang akan melenyapkan kepribadian dan komitmennya. Perbedaan antara determinisme historis dan determinisme Tuhan adalah, bahwa kita diciptakan oleh Tuhan, bukan oleh kekuatan-kekuatan sejarah, sehingga semestinya seorang intelektual harus lebih baik dan lebih unggul daripada determinisme dejarah. Dalam pandangan seorang cendikiawan muslim, Kuntowijoyo, kaum intelektual muslim paling tidak harus bisa berperan dalam dua hal: Pertama, dalam hal manajemen yang rasional; dan Kedua, membantu umat dalam perang gagasan, intellectual war. “Kita sedang menghadapi ‘perang’, ghazwul fikr atau intellectual aggression. ‘Musuh’ mereka ialah materialisme dan sekularisme dunia modern. Tugas intelektual Muslim ialah berjihad intelektual,” demikian Kunto pernah menganjurkan. Menurutnya, seorang intelektual adalah pewaris Nabi. Karenanya seorang intelektual Muslim tidak boleh berpangku tangan, sementara dunia akan tenggelam. Sekali lagi penulis berharap semoga tulisan ini dapat mengingatkan kita betapa banyak tugas yang harus dilaksanakan oleh seorang ulul al-ilm (baca: intelektual muslim) untuk menegakkan kalimat Allah sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Apabila kita dapat menyelesaikan tugas di atas niscaya Allah akan meninggikan derajat kita sebagai orang yang berilmu sebagaimana yang dijanjikan-Nya dalam surat al-Mujadalah ayat 11, bahwa Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat. Orang yang berilmu dalam arti mempunyai ilmu pengetahuan dan juga mau mengamalkannya untuk membangun umat. |
Generasi Ulul Albab
Menurut Prof . Dr. M. Qurash Shihab Kata al-Alba adalah bentuk jamak dari kata “lub” yaitu “sari pati” sesuatu. Kata ulul albab dalam Al-Quran tergantung dalam penggunaannya, bisa mempunyai berbagai arti. Dalam A Corcodance of the Quran (Hanna E. Kassis, 1983), kata ini bisa mempunyai beberapa arti, antara lain: pertama, orang yang mempunyai pemikiran (mind) yang luas atau mendalam. Kedua, orang yang mempunyai perasaan (heart) yang peka, sensitif atau yang halus perasaannya. Ketiga, orang yang mempunyai daya pikir (intellect) yang tajam atau kuat. Kempat orang yang mempunyai pandangan alam atau wawasan (insight) yang luas, mendalam atau menukik. Kelima, orang memiliki pengertian (understanding) yang akaurat, tepat atau luas. Dan keenam, orang yang memiliki kebijakan (wisdom), yakni mendekati kebenaran, dengan pertimbangan-pertimbangan yang terbuka dan adil. Dari berbagai arti ulul albab di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ulul albab yaitu orang yang berakal, memilki pikiran, perasaan dan hati. Namun bukan hanya sekedar memilikinya akan tetapi mau menggunakannya secara maksimal sehingga ia mampu mendapatkan ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas serta pandangan yang tajam terhadap sesuatu. Penggunaan akal, pikiran dan perasaan ini tentu saja dengan cara yang benar dan dengan tujuan yang baik. Karena banyak orang yang memiliki komponen-komponen ini, namun tidak mau menggunakannya secara maksimal. Begitu juga banyak orang yang menggunakannya namun tidak dengan cara yang benar dan bukan untuk kebaikan, seperti orang yang menggunakan akalnya hanya untuk akal-akalan mencari keselamatan di dunia. Ciri-ciri Ulul Albab
Oleh Imam Mustofa |